Jakarta - Prinsip paling sederhana dalam investasi saham tentunya membeli pada harga termurah lalu menjualnya pada harga tertinggi. Namun kenyataannya, sedikit saja yang bisa mengeksekusinya.
Wajar saja, tren pasar selalu bergerak ke arah yang diperngaruhi oleh banyak sekali faktor. Meskipun ujung-ujungnya selalu membentuk pola gelombang, dimana selalu ada titik tertinggi dan ada titik terendah, namun pada kenyataannya sulit menentukan dimana batas amplitudo gelombang tersebut.
Berbagai metode analisis teknikal mencoba membuat rumusan agar investor bisa mengenali signal-signal jual atau beli sebelum kejadian. Apalagi bagi trader harian, kemampuan membaca grafik njelimet metode teknikal serta kemampuan membaca tren dari posisi bid dan offer merupakan suatu keharusan.
Namun bagi investor yang lebih menyukai metode analisis fundamental, tentu memiliki cara pandang berbeda. Bagi investor fundamental, pergerakan harian bukan menjadi acuan investasi melainkan lebih kepada perhitungan-perhitungan yang berkenaan dengan aspek fisik kinerja perusahaan secara jangka panjang.
Dalam kolom portofolio kali ini, detikFinance mencoba menghadirkan tips-tips mencari saham yang sudah masuk dalam kategori murah, khususnya di sektor perbankan, dengan menggunakan metode analisis fundamental.
Menurut analis PT Optima Securities Haryo Koconegoro, terdapat 6 metode yang dapat digunakan untuk mengetahui saham bank mana yang sudah tergolong murah, yakni:
* Price to book value (P/BV).
* Price to earnings ratio (PER).
* Price to Pre-provision profit (P/PPP).
* Market cap to deposit.
* Dividend yield dibandingkan dengan risk free rate return.
* ROE dibandingkan dengan cost of equity.
P/BV
Menurut Haryo, metode ini adalah alat valuasi yang umum digunakan untuk saham bank. P/BV biasanya digunakan untuk melihat nilai sebenarnya dari suatu bank alias harta bersih setelah dikurangi kewajiban yang dimiliki.
"Investor biasanya bersedia membeli saham dengan P/BV 2 kali bila ROE setidaknya sebesar 15% atau bersedia membeli dengan P/BV 3 kali jika ROE minimal 20%," ujarnya.
Berdasarkan hasil riset Haryo, saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN) tergolong mahal, sedangkan saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) menjadi saham termurah dengan metode ini.
PER (Harga saham berbanding dengan laba bersih)
Rasio ini juga menurut Haryo sering digunakan sebagaimana P/BV. Namun perbedaannya, PER biasanya digunakan untuk membandingkan PER saham dengan PER industri atau PER market.
Haryo mengatakan, kelemahan penghitungan dengan PER adalah mudahnya terjadi distorsi oleh pendapatan-pendapatan yang tidak berhubungan dengan operasional perusahaan seperti laba kurs dan sebagainya yang bisa mempengaruhi posisi laba bersih di luar kinerja operasional.
"PER perbankan tahun 2010 mencapai 20 kali, inline dengan PER market yang berada di kisaran 12,5 kali," ujarnya.
Dengan metode ini, saham yang tergolong paling mahal adalah BBCA dan PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII). Saham yang tergolong paling murah adalah PT Bank Danamon Tbk (BDMN) dan BBKP.
P/PPP
Rasio P/PPP digunakan untuk mengukur kinerja operasional perusahaan. Volatilitas laba bersih yang diakibatkan oleh pengenaan biaya provisi dan biaya pajak bisa dihindarkan dengan metode ini yang hanya fokus pada bisnis inti perusahaan.
"Meski begitu, ada kritikan terhadap metode ini, karena seharusnya biaya provisi juga penting untuk diperhitungkan untuk merefleksikan kualitas manajemen bank," jelas Haryo.
Semakin rendah nilai P/PPP suatu saham bank, maka boleh dikatakan harga saham bank tersebut sudah tergolong murah. Dengan metode ini, saham BBCA dan BNII tergolong sebagai saham termahal. Saham BBNI dan BBKP menjadi saham termurah.
Market Cap to Deposits (kapitalisasi pasar dibandingkan dengan DPK)
Metode ini dipakai untuk melihat seberapa jauh representasi prospek pertumbuhan potensial dari bank tersebut. Logika yang digunakan dalam pengaplikasian rasio ini adalah DPK merepresentasikan dana yang bisa digunakan oleh bank tersebut untuk disalurkan menjadi asset-asset produktif, terutama disalurkan menjadi kredit yang berimbal hasil tinggi.
"Pengukuran dengan rasio ini, hanya akan valid bila kondisi sektor perbankan baik dan tidak berada dalam krisis finansial karena diasumsikan DPK yang ada pada bank itu dapat sebagian besar disalurkan sebagai kredit," ujar Haryo.
Dengan metode ini, saham BDMN dan BNII tergolong saham bank termahal, sedangkan BBNI dan BBKP tergolong paling murah.
Dividend Yield Dibandingkan dengan Risk Free Rate Return
Membandingkan dividend yield ( Ekspektasi dividen dibagi harga saham saat ini) dengan risk free rate (Yield Bond Pemerintah jangka waktu 10 tahun = 9.5%) adalah metode valuasi yang digunakan untuk mengakomodasi sebagian kalangan yang berpendapat bahwa membeli suatu saham hanya layak dilakukan bila dividend yield yang ditawarkan bisa berada diatas yield yang ditawarkan oleh risk free rate.
"Kelemahan metode ini adalah tidak diperhitungkannya kemungkinan kenaikan harga, terutama untuk negara-negara yang masuk dalam kategori emerging markets seperti Indonesia yang memiliki kapasitas untuk memberikan tingkat pengembalian investasi yang cukup tinggi hanya dari apresiasi harga. Oleh karena itu, investor-investor di Indonesia lebih cenderung untuk mengharapkan keuntungan dari kelipatan kenaikan harga, dibandingkan dari pendapatan dividen," jelasnya.
Dengan metode ini, saham BBCA dan BNII tergolong saham termahal, sedangkan saham BBNI dan BBKP menjadi yang termurah.
ROE Dibandingkan Dengan Cost of Equity
Rasionalitas yang digunakan dalam menerapkan rasio ini adalah, bila ROE dari suatu bank berada dibawah dari COE nya (Jumlah pengembalian atau return minimum yang disyaratkan investor untuk berinvestasi di suatu saham) maka lebih baik dana investor itu diinvestasikan pada bank lain yang lebih menguntungkan.
"Seperti rasio yang lain, rasio ini pun memiliki kelemahan dari sisi risk premium dan koefisien beta yang digunakan ( Untuk penyederhanaan, kali ini kami menyamaratakan risk premium = 5%, beta = 1, dan Risk Free rate = 9.5% untuk semua bank). Sementara itu, kelemahan dari penghitungan ROE adalah adanya perbedaan dari kualitas laba bersih yang digunakan untuk menghitung ROE dan juga keoptimalan modal ( Equity) yang dimiliki bank tersebut (apakah terlalu kecil atau terlalu banyak) yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya ROE bank yang bersangkutan," ujar Haryo.
Dengan menggunakan metode ini, saham BDMN dan PNBN tergolong sebagai yang paling mahal, sedangkan saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menjadi saham termurah.
Nah, bagi para investor yang hendak melakukan investasi di saham perbankan boleh menggunakan hasil riset di atas sebagai pertimbangan sebelum melakukan langkah investasi.
oleh : Indro Bagus SU - detikFinance
Memilih Saham Bank Termurah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar